Jumat, 21 Mei 2010

CERPEN [ Mendung Kian Hilang Berganti Terang ]

Ku hanya bisa duduk lemas dikursi roda tuaku. Usiaku belum tua! Masih terlalu muda malah. Aira namaku. Usiaku kini masih baru 18 tahun, tapi aku sudah tak berdaya. Penyakit ini menggerogoti tubuhku. Sehari-hari yang ku lakukan hanya duduk dikursi roda, memandangi langit pagi dengan udaranya yang sejuk, menanti datang malam ditemani senja yang indah. Hanya itu yang bisa kulakukan. Sering kali aku iri melihat teman-teman seusiaku yang masih bisa berlarian, berjalan bersama-sama sahabat mereka. Sedangkan aku? Mana temanku? Mana sahabatku? Aku hanya sendiri disini. Kala hujan, hanya berteman hujan. Kala angin, hanya angin yang bernyanyi ditelingaku.
“Nona, ini obatnya! Sekarang waktunya nona minum obat!” suara itu membuyarkan lamunanku.
“Aku nggak mau minum obat suster! Aku benci obat!” gerutuku
“Tapi non, kalau nona tidak minum obat, kapan nona akan sembuh?” dia terus membujukku hingga membuatku kesal.
“Aku benci obat suster! Buktinya, aku sudah minum obat bertahun-tahun. Tapi penyakit kankerku ini terus hinggap ditubuhku kan? Meskipun aku harus minum jutaan obat sekalipun, aku percaya aku tak akan sembuh!” gertakku hingga ku teteskan air mata.
“Nona Aira tidak boleh bilang seperti itu. Asalkan nona mau minum obat teratur dan menjalani kemotherapy secara rutin, saya yakin nona pasti sembuh!” suaranya seakan lebih meyakinkan aku.
“Apa? Sembuh? Sudah berapa kali aku keluar masuk rumah sakit? Hanya untuk mengikuti kemotherapy yang semakin menghabiskan rambutku! Aku lebih memilih mati saja meninggalkan dunia ini!” semakin air mataku menetes mengiringi kata-kataku, yang buatku sendiri merasa sakit.

Keesokan harinya! Pagi-pagi aku sudah disuguhi pemandangan puncak yang indah, dengan udara yang segar, kicauan burung yang seakan bernyanyi riang untukku, secangkir teh manis hangat, roti kesukaanku sebagai sarapan. Entah kenapa hari ini aku bisa tersenyum lebar.
“Ttiinn..! Ttiinn..!” terdengar suara bel motor
Aku tak tahu siapa itu? Pagi-pagi sudah bertamu kerumahku. Maklum, jarang pagar pintu rumahku dengan teras lumayan jauh, membuatku tak jelas melihat tamu yang datang. Diapun masuk menuju kearahku.
“Pagi tuan putri yang cantik!” dia menyapaku dengan sejuta senyum, disertai setangkai bunga mawar putih kesukaanku.
“Heii! Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku begitu menyukai mawar putih?” tak terasa perkataanku membuahkan senyum manis untuknya. Karena aku terlalu senang melihat bunga mawar putih itu.
“Begitulah aku. Selalu mengetahui apa yang seorang tuan putri sukai. Kamu senang?”
“Tentu, aku senang. Terima kasih!” ucapku sambil menyambut mawar putih darinya.
“Oya! Perkenalkan, namaku Tyo.” sapanya sambil mengulurkan tangannya
“Aira!” aku cukup menyambut tanda perkenalan darinya
Entah kenapa seharian itu aku bisa tertawa bersamanya. Meskipun aku baru mengenalnya, tapi dia seakan tak memikirkan apa yang terjadi denganku saat ini. Dia memperlakukanku sama seperti perempuan lainnya yang sehat.
“Ehm! Permisi nona. Maaf mengganggu! Ini obatnya nona.” Suster itu memutus pembicaraanku dengannya.
“Nggak suster! Bawa masuk lagi obatnya!” hardikku
“Heii tuan putri! Tak ada kata tidak untuk minum obat. Jika tuan putri ingin tetap bisa melihat mawar putih, tuan putri harus rajin minum obat!” dia berusaha membujukku
“Tapi..!”
“Hustt!” telunjuk tangan kanannya menyentuh bibirku, menandakan bahwa aku tidak boleh meneruskan perkataanku
“Tidak ada pula kata tapi! Hidup bukan untuk bicara tidak dan tapi, tuan putri!” dia terus meyakinkanku.
Akhirnya ku putuskan untuk mau meminum obat itu. Entah matra apa yang digunakaan seorang Tyo sehingga bisa membuatku mau minum obat yang dari dulu tak ku percaya bisa menyembuhkanku.
“Itu yang saya harapkan dari nona. Semangat nona! Untuk mau minum obat lagi. Untuk mau sembuh!” puji suster setiaku, yang setia menemaniku 2 tahun ini.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman, hingga membiarkan dia masuk lagi kedalam rumah, dan meninggalkanku hanya berdua dengan Tyo.
Akhirnya, hari-hariku selalu ditemani Tyo.

Kamis pagi dengan gerimis, aku duduk kembali diteras rumah mungilku. Ku tunggu kehadiran sesosok lelaki tinggi, putih, yang dulu pernah memberiku setangkai bungai mawar putih serta mampu mengembalikan senyumku yang selalu dia puji indah.
Tiba-tiba, justru mobil hitam yang berhenti didepan pagar rumahku. Lalu ku lihat ada sosok laki-laki keluar dari mobilnya.
“Heii tuan putri! Aku akan mengajakmu ketempat yang indah. Kamu harus mau ikut denganku untuk kali ini!” dia berteriak dan berlari kearahku.
“Kamu mau mengajakku kemana?” aku bertanya-tanya.
“Sudahlah! Kamu nggak perlu tahu sekarang. Yang penting kamu sekarang harus ikut denganku!” ajaknya sambil melepas jaket yang dipakainya, dan ia kenakan untukku.
“Iya bentar. Suster! Aku pergi dulu!” teriakku dari luar
“Nona mau kemana?” tanyanya
“Aku juga nggak tahu, yang jelas aku mau pergi!”
“Nona nggak bawa obat?”
“Nggak! Aku baik-baik saja kok!” teriakku sambil berlalu meninggalkan teras rumah dibantu oleh Tyo.

Sesampainya di tempat yang dimaksud Tyo. Dalam keadaan mata tertutup, aku masih penasaran dengan tempat indah itu. Aku mencium aroma wangi, entah apa itu? Mendengar gelombang air yang tenang. Ku rasakan hawa dingin yang semakin menusuk tubuhku.
“Buruan dong! Buka penutup mataku! Aku penasaran nih?” gumamku.
“Iya tuan putri!! Aku buka pelan-pelan!”
Perlahan dia membuka sarung tangan biru muda yang terikat menutup mataku. Setelah ku buka mata perlahan ku lihat pemandangan yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Mungkin karena ku terlalu sering mengurung diri dirumah kecilku. Sebuah danau kecil yang jernih. Dikelilingi tanaman mawar putih yang jumlahnya mungkin sudah sampai ratusan.
Baru kali ini aku bisa tersenyum lebar ketika melihat suatu kenyataan, kenyataan yang indah. Tak pernah ku tahu yang seperti ini.
“Gimana, bagus kan? Kamu suka?” tanyanya
Tak ku dengar apa yang Tyo katakan. Terlalu indah ku nikmati alam ini.
“Heii!” teriakkannya membuyarkan pandanganku
“Ehh! Apa?”
“Gimana? Bagus kan tuan putri?”
“Iya..! bagus banget. Nggak pernah aku lihat pemandangan seperti ini!”
“Heii tuan putriku!” katanya sembari menjongkokkan tubuh, menghadapku, dan memegang erat tanganku.
“Aku tahu! Kamu memiliki penyakit yang ganas, hingga membuatmu selalu putus asa akan hidupmu. Tapi aku tahu, penyakit yang kamu idap tak akan merenggut kebahagiaanmu. Semua kebahagian ini hanya milikmu. Aku mohon padamu, dengarkan aku. Kamu nggak boleh nolak kenyataan yang ada. Please! Aku tahu kamu bisa Aira!” ucapnya pelan hingga membuatku paham dan meneteskan air mata.
“Entah kenapa aku jadi putus asa? Aku takut akan hidupku. Aku tahu, dengan keadaanku yang seperti ini hanya bisa menyusahkan orang-orang disekitarku. Ayah bundaku, suster, bahkan kini datang kamu. Dulu awal aku mengenalmu, aku sempat takut kalau saja aku nggak bisa buat kamu nyaman justru malah merepotkan.” Jelasku dengan air mata yang mengalir semakin deras.
“Hustt..! dengarkan aku, tak ada yang salah dengan kamu. Kamu, aku, orang tuamu, bahkan suster yang mungkin sekarang sedang mencemaskan keadaanmu kita pun sama. Kita sama-sama dilahirkan didunia ini, merasakan getah pahit kehidupan, hingga akhirnya semuapun akan kembali kepada-Nya yang menciptakan kita. Kamu takut dengan hidup ini, akupun demikian. Tenanglah! Aku selalu disini menemanimu.” Katanya semakin meyakinkanku akan hidup
Aku tak bisa menjawab segala perkataannya, aku masih sibuk menghayati ucapannya tadi dengan tetesan air mata yang seakan tak mau berhenti menetes.
Senjapun mulai memanggil, gelap kan datang. Berat meninggalkan tempat yang indah ini, hadiah terindah dalam hidupku dari seorang Tyo. Tapi aku harus pulang.
***

Seminggu kemudian!

“Nona! Nona! Kamu kenapa? Nona bangun!” teriak suster
Aku tak tahu. Aku tak bisa melihat apa-apa. Semua gelap. Ada apa ini? Nafasku terasa habis sudah diujung lelahku. Tubuhku serasa tak berbeban lagi.
Begitu sadar, aku sudah terbaring lemas di kasur yang sempit, tak begitu nyaman untukku. Kala ku sadar, ku lihat sesosok Tyo berdiri dikejauhan. Sepertinya dia sedang menerima telepon.
“Iyaa sayang! Kamu jangan kesini dulu, Aira belum sadar. Nanti kalau dia sadar, lalu tau kamu, Itu bisa bikin dia tambah drop!” bait suaranya yang kudengar dan kuambil maknanya.
Tak sadar air mata ini menetes. Entah kenapa aku bisa merasa seperti ini?
Lebih deras lagi air mata yang membasahi pipiku, ketika dia menengok kearahku dan lari menuju tubuhku yang lemas. Seakan dia berusaha menjelaskan akan apa yang terjadi.
“Tuan putri! Dengarkan ak…” ku potong pembicaraannya.
“Heii Tyo! Aku tahu, aku hanya makhluk lemah tak berdaya yang hampir menemui ajalnya. Aku terlalu takut menghadapi hidup, dan tiba-tiba Tuhan mengirim malaikat yang Dia tugaskan untuk menghiburku, hingga mengantarku mati dalam senyum bahagia. Siapa kekasihmu itu, Tyo ?” tanyaku dengan air mata yang terus setia mengalir, dengan nafas yang serasa semakin habis.
“Dia Shisha. Suster yang selama ini setia menemanimu.” Dia menjelaskan dengan nada yang terbata-bata, mungkin takut menyakiti hatiku
Aku memejamkan mata sejenak, “Suster Shisha? Dia suster yang baik dan perhatian padaku. Jagalah dia, karena dia selalu menjagaku!” tegasku
“Dengarkan aku. Dari pertama mengenalmu, aku benar-benar jatuh hati padamu. Tak pernah aku melihat senyum indah dari seorang putri ketika melihat mawar putih. Kamu yang berhasil memberikanku senyuman indah itu.” Ceritanya sambil memegang erat tanganku
Aku semakin meneteskan air mata. Mungkin air mata bahagia atau justru air mata duka.
“Aku percaya kamu!” hanya itu yang bisa ku katakan
***
Sebulan kemudian!
“Pagi cantik!” ku dengar teriakkan seseorang yang tak asing suaranya
“Pagi juga.” Jawabku
“Ini mawar putihku untukmu hari ini. Hmm..! berarti total semua mawar putihmu sampai hari ini adalah 28 tangkai. Setiap hari, jika ku berikan setangkai bunga mawar berarti semakin bertambah satu cintaku untukmu!”
“Hheheh.. iya sayang! Aku percaya kamu!”
Kini Tyo telah menetapkan pilihannya, yaitu aku. Mungkin awalnya Shisha tak terima dengan kenyataan ini. Akupun berat menerima ini, tapi Tyo berhasil meyakinkan aku dan Shisha, bahwa kami bertiga masih bisa terus bersama meskipun Tyo denganku. Shishapun tetap setia menjagaku dan mengingatkanku untuk minum obat.
“Aira! Obatmu!” teriak Shisha.
“Iya!!”
Kami bertigapun tetap bisa bahagia, meskipun Shisha harus melepaskan Tyo untukku. Dan sekarang kami memiliki kebun mawar putih yang bunga-bunganya adalah pemberian dari Tyo setiap hari. Begitu indah!**

PENUTUP DARI MIMI

terima kasih telah berkunjung !
tinggalkan comment yaa !

lovely kuu

lovely kuu

lil'sistha gw

lil'sistha gw

yang special

yang special

gue

gue

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
sangunis, sanguinis, sanguinis :)